“Mama merancang banyak sekali rumah. Sangat indah. Aku pernah mengunjungi rumah yang dirancang Mama. Sangat luas, besar dan megah.”
Melanie berhenti sejenak. Mata jernihnya menyapu seisi kelas kemudian tersenyum. Aku sempat berharap, sapuan matanya berhenti tepat ke arahku kemudian tersenyum padaku. Tapi, tentu saja hal itu tak akan pernah terjadi. Aku tak pernah yakin, dia mengenalku.
“Namun rumah paling indah yang pernah dirancang Mama, tentu saja adalah rumah kami. Tidak hanya indah, rumah kami sangat cantik. Secantik Mamaku.”
Kini FMelanie tersenyum lebar kemudian sedikit membungkukkan badan memberi hormat. Ia telah selesai membacakan karya tulisnya. Seketika, ruangan kelas bergemuruh. Semuanya memberikan tepuk tangan. Bahkan, tanpa kusadari, aku telah berdiri sambil bertepuk tangan.
“Bagus sekali tulisanmu, Melan.” puji Bu Fatimah sambil mempersilahkan Melanie duduk.
Tentu saja Bu Fatimah memuji tulisan Melanie. Semua pasti sepakat, Melanie adalah murid terbaik di kelas. Bu Fatimah juga selalu menjadikan Melanie sebagai contoh bagi kami. Seperti pada tugas karya tulis ini, Melanie adalah satu dari tiga murid pertama yang maju membacakan tulisannya.
Entah dari mana Bu Fatimah mendapatkannya, tiba-tiba ia memiliki ide yang menurutnya luar biasa. Ia ingin seminggu sekali, tiga murid harus membuat tulisan pendek dan membacakannya di depan kelas. Kami harus menulis cerita tentang orang yang kami banggakan. Katanya, kami bisa menulis tentang Ibu, Bapak, Kakak atau saudara kita yang lain.
Ketika mengatakannya, wajah Bu Fatimah menjadi sangat cerah. Bu Fatimah memang selalu menggebu-gebu. Mungkin lebih dari seratus kali dia mengatakan kata luar biasa. Ide yang luar biasa dan lain sebagainya. Tapi tidak untukku.
Kelas menjadi hening setelah Ronald selesai membacakan tulisannya. Seluruh murid terpaku pada wajah Bu Fatimah yang mengamati satu demi satu wajah kami. Dia sedang mencari korban berikutnya!
Namun, sepertinya hanya wajahku yang memancarkan ketegangan dan ketakutan di kelas. Kulihat teman-teman disekitarku sedang berusaha keras menahan diri untuk tidak mengacungkan jari.
“Arfan!” seru Bu Fatimah.
Itu namaku. Aku tak percaya namaku disebut. Kenapa dari sekian banyak wajah-wajah yang berharap dipilih, ia malah menyebut namaku?
****
Hingga pulang sekolah pun, aku masih tak terpacaya bahwa minggu depan, aku harus membacakan tulisanku di depan kelas. Bukannya aku tidak suka dengan pelajaran Bu Fatimah, tapi yang membuatku bingung, siapa yang harus kutulis untuk tugasku?
“Arfan!”
Namaku menggema di sepanjang gang yang kulalui. Aku bahkan belum melihat wajahnya, namun suara itu terdengar sangat jelas dan lantang. Entah bagaimana dia bisa mengetahui kedatanganku. Apakah dengan mencium bau badanku? Aku belum tahu. Namun yang pasti, satu-satunya orang yang bisa melakukannya adalah, tentu saja Emak! Suaranya seperti Toa Masjid.
“Ya, Mak!” sahutku tak kalah lantang dan mempercepat langkah.
Dari jauh, kulihat Emak sedang sibuk mengangkat beberapa bungkus plastik besar. Aku berlari menghampiri Emak. Ku minta salah satu bungkus yang paling besar. Lumayan berat.
“Heh. Kamu mau ngapain?” seru Emak sambil menepis tanganku dari bungkusan besar dan memberiku bungkusan yang kecil.
Sepulang sekolah, seperti biasa, aku membantu Emak mengambil cucian dari rumah ke rumah. Ada tiga rumah yang manjadi jatahku. Sebenarnya, aku ingin meminta lebih banyak lagi, tapi Emak menolak. Katanya, aku lebih baik belajar dan mengerjakan PR.
Sudah berkali-kali aku meyakinkan Emak agar tugas mengambil cucian, aku yang mengerjakan tapi selalu ditolak. Padahal, selain mencuci, Emak juga harus menjadi kuli angkut di pasar. Emak hampir tak pernah istirahat.
Aku pernah bilang ke Emak supaya tak lagi menjadi buruh cuci. Tapi Emak selalu bilang bahwa kita harus menjaga kepercayaan yang diberikan orang. Terutama orang-orang yang telah menolong kita.
Dulu, saat Bapak meninggal, Emak tak memiliki pekerjaan. Padahal Bapak tak memiliki peninggalan apapun. Satu-satunya yang ditinggalkan Bapak, hanyalah kontrakan yang baru saja diperpanjang setahun dan bayi kecil, aku. Sendirian tanpa pekerjaan dan memiliki bayi, membuat Emak kebingungan. Namun Emak sangat beruntung, pemilik kontrakan dan orang-orang disekitar Emak sangat baik. Mereka memberi Emak pekerjaan untuk mencucikan pakaian mereka. Dan berkat itulah, Emak dan aku bisa bertahan hidup.
Jagalah kepercayaan dan jadilah orang yang jujur karena cuma itu yang kita miliki. Itu adalah kalimat yang sangat ku ingat dari Emak. Hanya sekali Emak mengatakannya, tapi aku tak akan pernah lupa. Emak memangatakannya setelah menamparku karena aku mengambil es krim di warung Bang Opik tanpa membayar. Ia mengatakannya sambil menangis dan memelukku erat. Sangat erat.
“Sana makan. Itu ada paha ayam.” seru Emak membuyarkan lamunanku.
Aku melangkah buru-buru. Ku letakkan 3 bungkusan pakaian kotor di keranjang dan langsung menuju meja makan.
“Kok cuma satu, Mak?”
“Lah, emang maunya berapa? Badan sekecil itu makannya banyak amat?” teriak Emak dari belakang rumah. Emak sedang memilah-milah pakaian.
“Trus, buat Emak?”
Emak muncul dan mendorong kepalaku.
“Hah, udah jangan berisik. Sana buruan makan. Tadi Emak udah makan.”
Aku terdiam sesaat. Ku lihat Emak membawa pakaian kotor lagi ke belakang. Gerakannya sangat cekatan.
“Oya, Mak. Besok Arfan pulangnya mampir ke rumah teman.” kataku sambil mengunyah. Suaraku sedikit kukeraskan.
“Emang ada apa?”
“Belajar, Mak.”
“Ya udah. Tapi jangan keluyuran. Dan buruan pulang.”
“Enggak, Mak. Lagian sih, Emak gak mau ngajarin.”
“Emak enggak ngerti yang begituan. Udah buruan, makannya diabisin. Jangan ngomong terus. Abis itu belajar. Kerjain PR.”
Begitulah aku dan Emak. Kami bicara layaknya berada di padang sabana. Sangat lantang.
****
Ini adalah kedua kalinya aku berkunjung ke rumah Rafa. Namun tetap saja membuatku terkagum-kagum dengan rumahnya yang besar. Mungkinkah, ini salah satu rumah yang di rancang oleh Mamanya Melanie? Entahlah. Tapi besar, megah dan indah.
Kali ini, Rafa mengajakku ke kamarnya. Sangat luas dan bersih. Di sana ada meja kecil di atas karpet tempat kami belajar.
Aku tak menyangka Rafa mengajakku belajar di rumahnya. Rafa sangat pintar terutama Matematika. Konon katanya, kepintaran Matematika-nya ia dapat dari Bundanya.
“Belajarnya yang rajin ya..”
Suaranya terdengar sangat lembut dan itu membuatku melompat. Aku tak terbiasa dengan suara yang pelan dan lembut. Entah karena aku terlalu serius, atau sedang melamun hingga tak menyadari kedatangan Bundanya Rafa.
Ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan Bundanya Rafa dan itu membuatku hampir tak mengedipkan mata. Dia benar-benar cantik dan tertawa lembut. Sepertinya, aku kelihatan konyol saat kaget tadi.
“Nak Arfan ya?”
Ia membawa minuman dingin dan camilan dan meletakkannya di meja.
“I.. iya Tante.” entah kenapa, aku tergagap.
Bundanya Rafa tertawa lembut lagi.
“Ya udah, Tante gak akan ganggu. Tante pergi dulu. Nanti, kalo ada pertanyaan, panggil Tante ya.”
Saat Bundanya Rafa pergi, aroma harum masih tertinggal.
Plak!
Tiba-tiba kepalaku berdenyut. Sebuah pensil baru saja menghantamku.
“Kenapa mukamu cengar-cengir gitu?” protes Rafa sambil memungut pensilnya.
Aku diam saja. Lagian, aku tak tahu harus menjawab apa. Sebenarnya, aku ingin mengatakan kalau Bundanya sangat cantik tapi ku urungkan. Terlebih setelah kulihat mata Rafa melotot padaku.
“Aku lagi bingung nih.”
Mata Rafa kini kembali normal.
“Bingung kenapa?”
“Tugas menulis dari Bu Fatimah.” jawab Rafa sambil memukul-mukulkan pensil ke hidung.
Tiba-tiba aku jadi bersemangat. Ternyata, tak cuma aku yang sedang kebingungan dengan tugas dari Bu Fatimah.
“Oya?” kataku menunggu penjelasan.
“Menurutmu, sebaiknya aku menulis tentang Bunda, atau Ayah saja ya?”
Rasanya, aku baru saja jatuh dari lantai dua. Tentu saja kebingunganku dan kebingan Rafa pasti berbeda. Ayah Rafa adalah seorang dokter gigi sedangkan Bundanya seorang Dosen. Dia sedang bingung memilih sedangkan aku bingung karena tak ada yang bisa ku pilih.
****
Sudah satu jam lebih pensilku berada di atas buku. Namun, tak satupun baris yang tertulis.
Aku masih bingung apa yang harus ku tuliskan untuk tugasku. Tentu saja aku harus menulis tentang Emak karena Emak adalah satu-satunya yang kumiliki. Tapi jika harus menulis tentang Emak, aku tak tahu apa yang bisa kubanggakan dari Emak.
Aku iri pada Melanie yang memiliki Mama seorang Arsitek. Aku juga iri pada Rafa yang memiliki Bunda seorang Dosen. Mereka memiliki banyak hal untuk dibanggakan. Mereka memiliki banyak cerita untuk dituliskan. Sedangkan aku?
Jika kutuliskan apa adanya tentang Emak, pasti akan jadi bahan tertawaan teman-teman. Tidak mengapa mereka menertawakanku. Tapi aku tak ingin mereka menertawakan Emak.
Mungkin, ku karang saja cerita Emak sebagai seorang Guru. Tapi, Bu Fatimah pasti tahu!
“Ada apa, Fan? Malah bengong kayak kodok.” kata Emak tiba-tiba.
Kulihat Emak sedang menyetrika. Ada peluh mengalir di keningnya. Aku tertegun sesaaat.
“Gak apa-apa, Mak.” jawabku pelan.
“Ya udah, sana tidur. Sudah malam.”
Aku tak menjawab. Aku belum menuliskan satu huruf pun.
****
Emak membangunkanku pagi-pagi. Ia tak perlu mendatangi tempat tidur karena suaranya dari dapur cukup ampuh membuyarkan mimpiku.
Aku menyeret tubuhku ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu dan sholat Subuh. Dan saat itulah aku tersadar, aku belum menyelesaikan tugas menulisku. Dengan cepat, akupun menyambar buku tulis dan menuliskan apa yang ada di kepalaku.
Aku tak punya waktu lagi untuk berfikir apa yang akan terjadi padaku nanti. Apa yang terjadi nanti, biarlah terjadi. Seperti kata Emak, aku harus jujur.
Ternyata, jika aku jujur, aku tak butuh waktu lama untuk menulisnya. Aku bahkan masih sempat sarapan.
“Bajunya yang rapi!” seru Emak saat aku hendak berangkat.
Ku coba rapikan sendiri tapi sepertinya Emak tak sabar. Ia menarik tanganku dan merapikan pakaianku dengan kedua tangannya.
“Rapi juga percuma, Mak. Bajunya udah jelek.”
Bajuku memang tak putih lagi. Lengannya sudah makin memendek. Celanaku yang harusnya berwarna merah, kini menjadi kekuning-kuningan. Dan juga memendek.
Tapi Emak hanya diam saja. Ia sibuk merapikan pakaianku.
“Nanti, kenaikan kelas, Emak belikan yang baru.” kata Emak setelah selesai.
Itu kalimat yang sama yang diucapkan Emak setahun yang lalu.
****
“Aku memanggilnya, Emak.”
Ku baca baris pertama dan berhenti. Tanganku gemetar. Dan dadaku terasa sempit membuatku sulit bernafas. Ku sapu seisi ruangan dengan mataku, tapi itu adalah sebuah kesalahan. Aku makin gemetar. Aku tak berani untuk melanjutkan.
Namun, entah aku sedang bermimpi atau berhayal, kulihat Melanie tersenyum. Ia melihat ke arahku. Tersenyum.
Ketakutanku tiba-tiba menghilang. Dan aku kembali membaca tulisanku.
“Emak, berkulit sangat gelap. Badannya kurus dan wajahnya sangat kusam. Jari-jemarinya sangat kasar. Bahkan telapak kakinya pecah-pecah. Ia jarang tersenyum apalagi tertawa. Namun suaranya sangat lantang. Suaranya keras mengalahkan Toa Masjid. Pakaiannya selalu terlihat lusuh karena warna-warnanya sudah pudar. Dan aku sering mencium bau bawang saat di dekatnya.
Emak seorang buruh cuci. Setiap hari, dia akan mengambil cucian dari para tetangga. Ia mencucinya di pagi hari dan menyeterikanya setelah kering. Malam hari, Emak akan mengantarnya kembali.
Emak juga seorang buruh angkut. Siang hari, Emak ke pasar. Ia menaikkan dan menurunkan barang dagangan dari mobil. Dia mengangkut barang-barang dagangan dipuggungnya. Berbagai macam barang yang dia angkut. Pakaian, plastik, mainan bahkan bawang.
Emak, tidak pandai berhitung. Dia hanya bisa menghitung uang. Dia tidak tahu Matematika.
Tapi, aku sayang Emak.
Emak tak pernah lupa menyiapkan makanan untukku. Ia akan meletakkan lauk yang enak di piringku dan membiarkan piringnya hanya berisi nasi. Emak selalu membelikanku baju baru setiap lebaran, dan membiarkan bajunya lusuh dimakan waktu. Saat aku sakit, Emak akan menjual apapun yang bisa dijual untuk membeli obat. Namun Emak tak pernah berobat di saat ia sakit.
Emak membelikanku buku-buku dan membiarkan dirinya tak berilmu. Dan Emak akan marah jika aku ingin membantunya mencari nafkah. Bahkan Emak akan lebih marah saat aku ingin keluar sekolah.
Kata Emak, aku tak boleh seperti Emak. Aku harus lebih pintar dari Emak. Aku harus lebih cerdas dari Emak. Aku harus menjadi orang yang jauh lebih baik dari Emak.”
Aku berhenti sejenak.
Suara sangat senyap. Aku tak berani menatap ke depan.
Aku menarik nafas dan melanjutkan.
“Emak, aku bangga pada Emak. Aku juga sayang sama Emak.”
Itu adalah baris terakhir dari tulisanku. Ku bungkukkan sedikit badanku untuk memberi hormat namun aku tetap menunduk. Aku tak berani mengangkat kepalaku karena aku tahu, tak berapa lama lagi, kehidupanku di sekolah akan menyedihkan. Teman-teman akan mengejekku dan Melanie tak akan mau mengenalku. Aku akan kehilangan teman-teman dan aku akan kesepian. Persis seperti saat ini. Senyap.
Plok Plok Plok..
Ku dengar suara tepuk tangan. Meski hanya satu, namun itu cukup memberiku keberanian untuk mengangkat kepalaku. Dan apa yang kulihat, sungguh membuatku bahagia.
Kulihat Melanie berdiri anggun. Kedua tangannya memberiku tepuk tangan dan wajahnya tersenyum manis. Itu lebih dari cukup buatku.
Tapi ternyata, itu belum cukup. Sesaat kemudian, satu demi satu teman-temanku berdiri bertepuk tangan. Hingga akhirnya, ruangan pun bergemuruh. Sebuah gemuruh untukku.
Saat kulihat Bu Fatimah, ia sedang menghapus kilau bening di matanya. Kemudian ia tersenyum padaku.
Buatku, ini adalah hari yang tak akan pernah kulupakan.
****
Aku berlari sepanjang jalan membuat orang yang melihatku keheranan. Mungkin mereka heran, kenapa aku berlari sambil senyum-senyum sendiri. Tapi aku tak peduli, aku terus berlari hingga ku lihat Emak sedang mengeluarkan bungkusan cucian.
“Emaak!” seruku sambil melompat dan memeluk punggungnya.
Emak kaget.
“Heh, kamu kenapa, Fan?”
Emak berusaha melepaskan diri dari pelukanku. Tapi aku terus memeluknya.
“Arfan sayang Emak.” kataku.
Emak terdiam dan menatapku.
Tapi beberapa detik kemudian, Emak kembali sibuk dengan bungkusannya.
“Hah, udah sana. Ganti baju trus makan. Emak mau ke pasar.”
Emak mengangkut semua bungkusan dan melangkah pergi dengan cekatan. Dia tak menengok. Tidak, meski sekali.
Tapi tak mengapa. Meski hanya beberapa detik, tatapan yang diberikan Emak lebih dari cukup untukku. Karena aku tahu, Emak tak memiliki waktu untuk kata-kata. Semua waktunya, telah habis untuk menerjemahkan cinta di tiap detik kehidupannya.
======
RSN – 24012014
Komentar Terkini: